Senin, 14 April 2014

Refleksi Abrasi


Abrasi ibarat virus yang sedang menjalar dalam tubuh. Pada stadium tertentu barulah sang penderita dapat didiagnosa dan diusahakan penyembuhannya. Sekiranya abrasi seperti inilah yang saya lihat disalah satu desa disudut kota Mbay. Terletak dikawasan utara Kabupaten Nagekeo, desa ini bisa diibaratkan sedang sekarat diserang virus abrasi. Entah dimulai oleh siapa dan sejak kapan, perlahan lahan air laut semakin mencaplok sebagian pemukiman. Tidak hanya itu, hutan bakau turut musnah, yang tertinggal hanya cabang dan ranting mati. Beberapa pohon terlihat habis ditebang orang. Disudut lain, bakau mati tanpak sebagai penjala sampah. Realitas ini hidup berdampingan dengan para penduduk desa .Puluhan rumah yang berjejer disepanjang pantai berdiri sombong, seakan siap menantang arus ombak pantai utara. Bisa jadi suatu saat para penghuninya terbawa arus saking terlenanya dengan kemewahan yang diberikan laut. Semoga tidak ada yang saling membenarkan jika suatu saat semua yang disini hanya batu nisan. Logikanya,kebenaran bisa dimulai dari sekarang.. 

Ekosistim pantai memang tidak bisa dikembalikan seperti dahulu kala, namun setidaknya,realitas sekarang sudah bisa didiagnosa untuk mencari sang penagkal. Setidaknya,bisa diminimalisir dampaknya sekedar memperpanjang usia seluruh ekosistem.

Dari cerita opa Tote, salah satu pensiunan  yang pernah mengabdi dari tahun 1970 diMbay, dimasa itu Nangadhero hanyalah sebuah tempat tak berpenghuni. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hutan bakau dan rumput liar. Entah dimulai dari siapa dan dari kapan, ditahun 1980-an beberapa penduduk mulai mendirikan tempat tinggal. "Sekitar tahun 1983 ada beberapa penduduk yang tinggal disitu, mereka datang dari pulau Palue untuk mencari ikan."kata opa Tote. Mereka hanya bangun tempat tinggal berupa pondok kecil. Ada juga beberapa orang yang datang dan tinggal pada musim teretentu, mereka itu para penangkap nener",lanjutnya.
 
Tahun 1990-an kondisi Nangdhero mulai berubah. Para nelayan dari Sulawesi selatan mulai banyak berdatangan dan memilih untuk menetap. Berdampingan dengan pelabuhan Marapokot, Nangadhero semakin menjanjikan bagi penduduknya. Para pelaku bisnis dari Sulawesi mulai melirik keuntungan. Alhasil,kawasan ini mendapat pengakuan dari Pemda sebagai desa.
Fenomena alam tak bisa dihindari. Hampir setiap tahun,keluhan penduduk dsini hanya pada masalah abrasi. Bencana ini tak pandang buluh, pelabuhan kapal ikan turut menjadi korban. Abrasi kian menjadi keresahan bagi desa Nangadhero.

 









 
Syukurnya, pemda tak tinggal diam. Puluhuan meter bronjong mulai dibangun pada sepanjang pantai. Bronjong ini diklaim sebagai pemecah ombak yang dapat mengatasi abrasi. Pertanyaannya, apakah pembangunan bronjong ini solusi satu satunya mengatasi abrasi? Lalu bagaimana dengan nasib ekositim lain seperti bakau yang telah tergerus lahan pemukiman? Apakah ekositim ini harus menjadi pahlawan penyambung hidup penduduknya? Tidak perlu menunggu kapan, kita bisa mulai dari sekarang. Tidak perlu menunggu siapa dan berapa, cukup dari ide kita sudah mulai. Kalau bukan kita siapa lagi....
By. Yanto Mana Tappi (2014)





















Foto & Teks by. Yanto Mana Tappi



1 komentar:

  1. Kita pun ibarat virus yang terus menggerogoti daya tahan bumi.. bumi batuk (gunung meletus, gempa) saat sedang kembali memperkuat daya tahan tubuhnya.. kapan kita sadar untuk tidak menjadi parasit bagi bumi (sampah, pembalakan, perusakan ekosistem)

    BalasHapus

Silahkan berkomentar