Senin, 23 Juni 2014

Selamat Datang Pembangunan



Perihal abrasi pernah di tulis oleh teman saya Selvianto Manatappi beberapa waktu lalu di blog NPC (Nagekeo Photographer Club) ini. Sepenggal tulisannya kira-kira demikian, “…..Abrasi ibarat virus yang sedang menjalar dalam tubuh. Pada stadium tertentu barulah sang penderita dapat didiagnosa dan diusahakan penyembuhannya. Sekiranya abrasi seperti inilah yang saya lihat disalah satu desa disudut kota Mbay. Terletak dikawasan utara Kabupaten Nagekeo, desa ini bisa diibaratkan sedang sekarat diserang virus abrasi. Entah dimulai oleh siapa dan sejak kapan, perlahan lahan air laut semakin mencaplok sebagian pemukiman. Tidak hanya itu, hutan bakau turut musnah, yang tertinggal hanya cabang dan ranting mati. Beberapa pohon terlihat habis ditebang orang. Disudut lain, bakau mati tanpak sebagai penjala sampah. Realitas ini hidup berdampingan dengan para penduduk desa .Puluhan rumah yang berjejer disepanjang pantai berdiri sombong, seakan siap menantang arus ombak pantai utara. Bisa jadi suatu saat para penghuninya terbawa arus saking terlenanya dengan kemewahan yang diberikan laut. Semoga tidak ada yang saling membenarkan jika suatu saat semua yang disini hanya batu nisan. Logikanya,kebenaran bisa dimulai dari sekarang”….

Hari sabtu subuh tanggal 21 Juni 2014 kemarin, pukul 4.30 AM, saya bersama Frater Cecs Djo hunting foto Landscape dan Human Interest di Pantai Marapokot. Kami memang sudah lama merencanakan kegiatan hunting bersama di pantai-pantai seputaran Kota Mbay hanya saja baru bisa terealisasi pada hari sabtu subuh kemarin itu. Rupanya pada hari itu pasang sedang tinggi, sehingga kami tidak bisa hunting sunrise di spot andalan saya di Pantai Marapokot. Setelah berkeliling dan tidak menemukan spot yang cukup baik, maka kami berdua memutuskan untuk hunting di Pantai Nangadhero saja. Langit masih cukup gelap, jadi masih ada waktu untuk ke sana sebelum sunrise.
 Sesampainya kami di Pantai Nangadhero saya terperangah dengan perubahan keadaan pantai yang cukup besar di bandingkan bulan April lalu saat saya dengan teman Selvianto Manatappi hunting di sini.
Anto, panggilan akrab untuk teman Selvianto Manatappi juga menulis, “…Syukurnya, pemda tak tinggal diam. Puluhuan meter bronjong mulai dibangun pada sepanjang pantai. Bronjong ini diklaim sebagai pemecah ombak yang dapat mengatasi abrasi…”.

Ternyata pemerintah lebih sigap dari apa yang saya bayangkan. Saat itu yang ada memang hanya beberapa bronjong saja, tetapi sekarang, pemecah ombak dan tanggul penahan ombak sudah dibangun rapi dan gagah, melindungi pemukiman penduduk di sekitar Pantai Nangadhero. Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo lewat Dinas Teknis terkait benar-benar serius memperhatikan kebutuhan dari masyarakat Nagekeo. Hal yang sangat membanggakan dan mengembirakan tentunya. Pemimpin baru bagi Kabupaten Nagekeo ini benar-benar serius dan bergerak cepat dalam menangani pembangunan yang berdampak baik bagi masyarakat Nagekeo. Tinggal bagaimana kita sendiri sebagai masyarakat Nagekeo memberikan apresiasi dan dukungan yang positif terhadap pemimpin kita dalam usahanya membangun Nagekeo tercinta ini. Berpikir positif dan membangun bersama.


Di akhir tulisannya Anto menulis, “…..bagaimana dengan nasib ekositim lain seperti bakau yang telah tergerus lahan pemukiman? Apakah ekositim ini harus menjadi pahlawan penyambung hidup penduduknya? Tidak perlu menunggu kapan, kita bisa mulai dari sekarang. Tidak perlu menunggu siapa dan berapa, cukup dari ide kita sudah mulai. Kalau bukan kita siapa lagi...”. Hal yang menjadi PR besar buat kita semua. Bahwa keseimbangan ekosistem tetaplah menjadi hal yang paling penting dalam proses pembangunan daerah. Kembali menanan bakau, hindari menebang bakau dan jangan berburu satwa-satwa indah seperti burung bangau adalah beberapa hal penting yang menjadi PR besar buat kita semua. Sehingga Kabupaten Nagekeo akan berkembang menjadi kabuten yang maju dan indah. 
Terima kasih banyak kepada Frater Cesc yang sudah hunting sama-sama di pagi yang mendung dan berawan kemarin. Walau mendung tetapi foto tetap jalan hehehehehe… karena selalu ada yang indah dalam situasi apapun. Dan perkembangan pembangunan di Pantai Nangadhero adalah salah satu keindahan di pagi itu. Terima kasih banyak kepada Pemerintah Daerah Nagekeo. Keindahan baru mulai di bangun. Selamat Datang Pembangunan. Bravo Nagekeo!!!

Foto&Teks by. Eddy Due Woi

Selasa, 10 Juni 2014

Semangat Merah Putih SDN Kuru

Jam menunjukan pukul 07.30 WITA, satu persatu murid SDN Kuru mulai berdatangan. Rata-rata jarak tempuh dari rumah ke sekolah mereka tidak terlalu jauh. Semua murid baru saja menyelesaikan ujian sekolah. Pagi itu, Senin (9/6/14), mereka tidak terlalu disibukan dengan pelajaran. Siswa kelas tiga dan empat melanjutkan tugas praktek untuk melengkapi persyaratan ujian kenaikan kelas. 

Tidak lama kemudian dua orang guru muncul. Anak-anak mengambil sapu dan mulai membersihkan ruang kelas dan halaman. Sementara yang lain memungut batu-batu kecil dan disusun rapi pada tepi dinding kelas. Kemudian spontan mereka membentuk barisan yang diikuti dengan pengarahan dari seorang guru dan ditutup dengan doa. Para muridpun mulai memasuki ruang kelas masing-masing secara teratur.

Diruang kelas satu yang berdinding pelepah lontar, Visencia Menge (26), seorang guru honor sedang memberikan soal ujian ulang bagi murid yang nilainya kurang.
"Saya sudah bertugas disekolah ini selama satu setengah tahun", kata Visencia. SDN Kuru sampai saat ini memiliki lima orang guru PNS dan tiga orang guru honor. "Saya dan teman guru honor lain digaji dari uang komite, gaji kami kadang hanya cukup untuk makan saja", tutur Vicensia. 

Pembangunan sekolah dimulai dari warga Dusun Kuru secara swadaya. Fisik bangunan dibuat dengan apa adanya. Dinding dibuat dari pelepah daun lontar, atap dibuat dari alang-alang. Terdapat empat ruang kelas dan satu ruang Kepala Sekolah berlantai tanah. Semuanya tanpa daun pintu dan jendela.

Inilah kondisi SDN Kuru, sebuah sekolah negeri yang berada di Dusun Kuru, Desa Totomala, Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo NTT. Sekolah ini terletak dilereng bukit jalan utara sekitar 20km dari Mbay, Ibukota Kabupaten Nagekeo. Perjalanan SDN Kuru dimulai sejak diresmikan oleh Bupati Nagekeo, Drs.Yohanes Samping Aoh pada Juli 2010. Sebelumnya hanya sebagai sekolah jauh yang menginduk di SDI kobakua.

"Kondisi ini lebih parah lagi bila musim hujan", ungkap Mathias Misa (52), Kepala Sekolah SDN Kuru. Ruang kelas semuanya berlumpur. Ruangan Kepala Sekolah sama sekali tidak bisa terpakai. "Untung tahun 2012 lalu ada pembangunan gedung Kober (Kelompok Bermain) dari dana BOS sehingga bisa dipakai untuk ruang guru", lanjutnya. Walaupun dengan kondisi yang serba terbatas, sampai saat ini SDN Kuru memiliki 64 murid dari kelas satu sampai kelas empat dengan uang sekolah serta biaya komite ditetapkan Rp.375.000/anak untuk satu tahun.

 "Pada saat penerimaan raport hari Jumad nanti kita akan rapat bersama orang tua murid untuk membangun satu ruang kelas lagi", tutur Mathias. Menurut cerita Kepala Sekolah yang telah bertugas sejak tahun 2013 ini, Bupati periode 2009-2010, Yohanes S.Aoh, pernah berjanji akan membangun gedung sekolah permanen. Namun, kata Mathias, sampai saat ini belum direalisasi. "Beginilah kondisi sekolah ini, dari tahun 2012 rencana pembangunan hanya tinggal janji. 

Generasi merah putih SDN Kuru seakan sudah terbiasa dengan kondisi yang serba terbatas. Semangat mereka telah dibuktikan dengan beberapa prestasi yang diraih. Pada perlombaan menyambut Hardiknas 2014, sekolah ini berhasil meraih juara dua lomba cerdas cermat tingkat Kecamatan Wolowae. Selain itu, prestasi olahraga dicabang bulu tangkis berhasil diraih salah satu siswa kelas empat. Semangat merah putih tak pernah luntur di SDN Kuru.
Foto&Teks by. Yanto Mana Tappi

Minggu, 01 Juni 2014

Napak tilas Bung Karno di Ende

Ende tidak hanya terkenal dengan keajaiban danau tiga warna Kelimutu. Dikota seribu nyiur melambai ini juga memiliki catatan sejarah kemerdekaan bangsa. Soekarno, presiden pertama RI diasingkan oleh Belanda dikota ini. Sebuah rumah kecil tua yang terletak dijalan Perwira adalah bukti sejarah keberadaan Bung Karno selama pengasingannya di Ende. Bangunan ini tidak besar,hanya memiliki dua buah kamar tidur, satu kamar tamu dan sebuah ruangan kecil tempat semedi. 

Pada tanggal 16 Mei 1954, rumah ini resmi menjadi rumah museum oleh Presiden Soekarno. Berbagai jenis perabotan,mulai dari kursi meja,tempat tidur sampai setrika arang dan cerek alumanium bekas pakai Bung Karno tersusun rapi dalam lemari kaca. Ada juga tongkat,pulpen dan catatan-catatan dari kerabat. Deretan foto-foto kisah hidup Bung Karno selama di Ende terpajang rapi didinding. 

Pada Tanggal 1 Juni 2013, Wakil Presiden Budiono datang berkunjung dan meresmikan taman renungan Bung Karno. Taman ini tidak jauh dari rumah pengasingan. Dari catatan sejarah, taman inilah tempat Bung Karno sering duduk pada sore hari. Dibawah sebuah pohon ketapang, sang Proklamator betah berjam-jam dalam perenungan. Konon, disinilah cikal bakal lahirnya Pancasila yang selalu kita peringati setiap tanggal 1 Juni. 

Agar tak lupa akan sejarah, Pemerintah Kabupaten Ende melakukan napak tilas mengenang perjuangan Bung Karno dalam pengasingannya di Ende. Kali ini,Sabtu (31/05/2014),rombongan napak tilas yang terdiri dari perwakilan dari seluruh kecamatan, unsur Muspida, tokoh masyarakat, kaum pengajar dan pelajar serta masyarakat memulai perjalanan dari pulau Ende,selanjutnya menuju situs rumah pengasingan, gedung Immaculata,kuburan sahabat Bung Karno dan berakhir di Taman Perenungan. Perjalanan diwarnai pula dengan pentas teatrikal kisah Bung Karno. Inilah kisah sejarah sang Proklamator dipulau Nusa Bunga. Dari Ende untuk Indonesia.









Senin, 14 April 2014

Refleksi Abrasi


Abrasi ibarat virus yang sedang menjalar dalam tubuh. Pada stadium tertentu barulah sang penderita dapat didiagnosa dan diusahakan penyembuhannya. Sekiranya abrasi seperti inilah yang saya lihat disalah satu desa disudut kota Mbay. Terletak dikawasan utara Kabupaten Nagekeo, desa ini bisa diibaratkan sedang sekarat diserang virus abrasi. Entah dimulai oleh siapa dan sejak kapan, perlahan lahan air laut semakin mencaplok sebagian pemukiman. Tidak hanya itu, hutan bakau turut musnah, yang tertinggal hanya cabang dan ranting mati. Beberapa pohon terlihat habis ditebang orang. Disudut lain, bakau mati tanpak sebagai penjala sampah. Realitas ini hidup berdampingan dengan para penduduk desa .Puluhan rumah yang berjejer disepanjang pantai berdiri sombong, seakan siap menantang arus ombak pantai utara. Bisa jadi suatu saat para penghuninya terbawa arus saking terlenanya dengan kemewahan yang diberikan laut. Semoga tidak ada yang saling membenarkan jika suatu saat semua yang disini hanya batu nisan. Logikanya,kebenaran bisa dimulai dari sekarang.. 

Ekosistim pantai memang tidak bisa dikembalikan seperti dahulu kala, namun setidaknya,realitas sekarang sudah bisa didiagnosa untuk mencari sang penagkal. Setidaknya,bisa diminimalisir dampaknya sekedar memperpanjang usia seluruh ekosistem.

Dari cerita opa Tote, salah satu pensiunan  yang pernah mengabdi dari tahun 1970 diMbay, dimasa itu Nangadhero hanyalah sebuah tempat tak berpenghuni. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hutan bakau dan rumput liar. Entah dimulai dari siapa dan dari kapan, ditahun 1980-an beberapa penduduk mulai mendirikan tempat tinggal. "Sekitar tahun 1983 ada beberapa penduduk yang tinggal disitu, mereka datang dari pulau Palue untuk mencari ikan."kata opa Tote. Mereka hanya bangun tempat tinggal berupa pondok kecil. Ada juga beberapa orang yang datang dan tinggal pada musim teretentu, mereka itu para penangkap nener",lanjutnya.
 
Tahun 1990-an kondisi Nangdhero mulai berubah. Para nelayan dari Sulawesi selatan mulai banyak berdatangan dan memilih untuk menetap. Berdampingan dengan pelabuhan Marapokot, Nangadhero semakin menjanjikan bagi penduduknya. Para pelaku bisnis dari Sulawesi mulai melirik keuntungan. Alhasil,kawasan ini mendapat pengakuan dari Pemda sebagai desa.
Fenomena alam tak bisa dihindari. Hampir setiap tahun,keluhan penduduk dsini hanya pada masalah abrasi. Bencana ini tak pandang buluh, pelabuhan kapal ikan turut menjadi korban. Abrasi kian menjadi keresahan bagi desa Nangadhero.

 









 
Syukurnya, pemda tak tinggal diam. Puluhuan meter bronjong mulai dibangun pada sepanjang pantai. Bronjong ini diklaim sebagai pemecah ombak yang dapat mengatasi abrasi. Pertanyaannya, apakah pembangunan bronjong ini solusi satu satunya mengatasi abrasi? Lalu bagaimana dengan nasib ekositim lain seperti bakau yang telah tergerus lahan pemukiman? Apakah ekositim ini harus menjadi pahlawan penyambung hidup penduduknya? Tidak perlu menunggu kapan, kita bisa mulai dari sekarang. Tidak perlu menunggu siapa dan berapa, cukup dari ide kita sudah mulai. Kalau bukan kita siapa lagi....
By. Yanto Mana Tappi (2014)





















Foto & Teks by. Yanto Mana Tappi