Kamis, 29 Desember 2011

"Sorongi'is" Ritual pendewasaan perempuan suku Nagekeo

Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Seperti di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dhawe di Kabupaten Nagekeo. Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi, yang dalam bahasa setempat ritual adat ini di sebut  “Sorongi’is”. Uniknya, ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.



Dua orang anak perempuan berbusana adat nampak tengah berbaring diapit oleh sang nenek. Tidak lama kemudian, seorang bapak yang ditunjuk sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang rahang sang anak sambil memintanya untuk membuka mulut. 
 Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi sang anak. Kontan saja wajah sang anak meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut digosok berulang-ulang kali.

Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, sang anak kemudian di serahkan ke salah satu ibu untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala kampung berupa buah pinang yang masih mentah. Sang anak diharuskan mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa ngilu.

Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan disuku Dhawe Kabupaten Nagekeo. Ritual Sorongi’is mengandung makna bahwa anak tersebut telah dewasa dalam hukum adat. Seperti yang di tuturkan Donatus Dua, salah satu tetua adat suku Dhawe, suatu saat jika sampai pada usia siap pinang, hukum adat sudah  merestui jika ada lelaki yang datang meminang,
Sebelum menuju ritual Sorongi’is, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari,  bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.
Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali diselingi dengan pantun yang di ucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas nagekeo kepada para peserta tandak. Dalam bahasa setempat, acara tandak ini disebut “Wai Sekutu”.

Tidak lama kemudian, anak yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian kembali di boyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit,  acara tandak pun bubar. 

Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.
Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”. Setelah itu, sang anak akan di ayun oleh ayahnya sebanyak lima kali diatas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan yang kelima,  anak tersebut di ayun melewati babi dan siap berjalan menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.

Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang di bawa oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah menjadi tradisi,  pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing akan menerima balasan tikar ataupun beras.
Setiap bingkisan dari sanak keluarga dicatat oleh petugas
Keluarga membawa bingkisan beras dan tikar
Bagaimanapun, dibalik semua proses Sorongi’is ini, terselip perasaan lega dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah dilaksanakan,  walaupun secara ekonomis  biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Terimaksih buat warga suku Dhawe,dan khususnya keluarga besar Bapak Vinsen Dhoma yang telah berkenan mengijinkan saya untuk meliput secara langsung ritual Sorongi’is kedua puterinya.

@. seluruh tulisan dan photo adalah liputan Yanto Mana Tappi, dan telah mendapatkan persetujuan dari pihak penyelenggara acara untuk dipublikasikan. Foto-foto diambil pada bulan November 2011.

Rabu, 28 Desember 2011

Ritual adu fisik ala Nagekeo

Pertarungan fisik selalu selalu di identikan dengan simbol keperkasaan seseorang. Mungkin jika ada yang kalah , lantas berdarah-darah, semua orang mencemoohkannya. Atau jika sang pemenang mengangkat kedua tangan sebagai tanda kemenangan, sontak yang menonton langsung bertepuk tangan,semuanya larut dalam suasana saling cibir, atau saling mengangungkan sang jagoan. Cerita selanjutnya bisa jadi yang kalah akan menyimpan dendam yang teramat sangat, atau sebaliknya malah penonton yang saling bertarung. 
 
Namun,cerita seperti itu tidak akan terjadi jika sang jagoan berlaga dalam arena “Etu”, tinju adat di masyarakat Nagekeo, sebuah kabupaten baru mekaran dari kabupaten Ngada pada tahun 2006. Bagi masyarakat suku Nagekeo yang berada tepat di tengah pulau flores ini, etu adalah simbol keakrabaan dan persaudaraan.Etu adalah kesenian tradisional yang memperagakan adu ketangkasan antara para pria dewasa di wilayah persekutuan adat Nagekeo dan sekitarnya. Permainan adu ketangkasan ini selain merupakan arena pentas kesenian tetapi juga merupakan ritual adat untuk melengkapi siklus kehidupan masyarakat adat Nagekeo.
 
Menurut salah satu pemuka adat Nagekeo di kampung Boawae, Syrilus Bau Engo, etu telah dipentaskan sejak puluhan tahun silam secara turun temurun. Namun, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan secara pasti sejak kapan etu mulai dipentaskan. Diperkirakan, kegiatan ini mulai dipentaskan sejak masyarakat persekutuan adat tidak lagi terlibat dalam perang antar suku (papa wika). Ada versi yang menerangkan bahwa kegiatan ini dibuat sebagai salah satu persembahan darah kepada bumi (ibu pertiwi), sehingga bukan hal yang baru jika ada petinju yang keluar dari arena dengan wajah lebam bardarah-darah. Diyakini oleh mereka, luka yang diderita akan segera sembuh jika di sentuh oleh tabib kampung.
 

 
 Jika dikaitkan dengan kelender adat, etu biasa dipentaskan pada musim kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen. Selama masa itu, etu dipentaskan pada beberapa kampung adat yang memiliki adat tinju yang dipegang salah satu suku yang mendiami kampung tersebut dan biasa disebut “moi buku ‘etu” (pemegang adat tinju). Giliran antar kampung ditentukan waktunya sesui perhitungan yang mendasarkan pada peredaran bulan sehingga etu selalu dipentaskan pada saat bulan purnama. Para petarung akan memasuki sebuah arena di tengah kampung yang disebut “kisa nata”. Arena tempat tinju dibatasi oleh pagar dari tonggak kayu yang dirangkaikan dengan tali sehingga menjadi semacam ring tinju berlantai tanah yang dalam bahasa adat disebut “mada  Mada membujur sesuai dengan tata letak kampung adat. Penonton yang menyaksikan etu berdiri di luar mada.Jangan berharap perempuan ada disekitar mada, karena sudah tentu itu adalah hal yang “pamali” bagi sang petinju.
Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan nyanyian.  Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat panen.  Menariknya, dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya sebagi ajang perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian akan dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut dalam tarian dan nyanyian. Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki – laki pergi ke “loka lanu” yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan para leluhur sambil memohon keselamatan bagi para petinju, sehingga para petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam kenyataannya, luka karena bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh. Sesudah upacara persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung sambil menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam seremoni pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda bahwa acara tinju dapat dimulai. 
 Para penonton mulai berdatangan. Tidak sampai satu jam, arena etu sudah dipadati para penonton dari berbagai penjuru kampung. Ada juga yang datang dari luar kampung.Kebanyakan dari mereka memakai sarung adat, sedangkan kaum lelaki mengenakan ikat kepala. Disini, penonton tidak perlu ragu kemana harus mencari pengganjal perut jika lapar. Hidangan cuma-cuma akan diberkan kepada siapapun yang datang. Masayrakat adat di sekitar kampung akan menjemput dang mengajak kita menikmati makanan yang telah disiapkan di setiap rumah.

Penonton semakin tidak sabar menjejal di sekitar arena.Dari ujung arena, sang petinju mulai kelihatan.Petinju ini akan dikawal oleh seorang “Moi sike”. Dia  berfungsi menjaga agar petinju tidak jatuh dan kadang kala bisa membantu menangkis pukulan yang diarahkan ke arah perut petinju. Orang ini harus lincah mengikuti gerak gerik petinju ketika menyerang maupun menghindari pukulan lawan. Moi sike harus maju dan mundur seirama dengan petinju.

Kedua petinju pun mulai diperhadapakan oleh “moi seka”.Orang inilah yang akan bertindak sebagai wasit, sekaligus juri. Tidak seperti petinju yang kebanyakan kita tonton, disini para petinju akan dipasang kain pengalas dada, ikat pinggang dari kain, dan ikat kepala. Yang terakhir adalah alat meninju lawan atau dalam bahasa setempat disebut “keppo”. Tidak seperti sarung tinju para profesional, alat gebuk ini berupa tali ijuk yang dipilin kecil-kecil, selanjutnya di gumpal kira-kira pas dalam genggaman. Permukaan keppo kasar, siapapun yang terkena pukulan benda ini pasti akan berdarah.


 Kedua petinju mulai merengsek maju ketika wasit menepuk tangan. Satu dua pukulan mulai dilontarkan, jauh dari kesan seorang petinju profesional. Moi sike terlihat kerepotan menarik kain pinggang masing-masing petinju ketika mereka mulai terbakar emosi. Sebuah pukulan telak berhasil didaratkan salah satu petinju di wajah lawan.. Wasit langsung memisahkan keduanya. Petinju yang berhasil mendaratkan bogem mentahnya terlihat bangga, sambil melompat-lompat kegirangan, sesekali menepuk dada. Pihak lawan tak puas. Pertarungan kembali dilajutkan. Jual beli pukulan terjadi.Pelukan, saling tarik, menambah panas suasana. Teriakan penonton semakin membakar emosi sang petarung. Wasit pun tidak mau ambil resiko, pertandingan pun diakhiri. Seorang petinju dinyatakan sebagai pemenang. Kedua petinju di giring oleh sang wasit. Disini jelas kelihatan semuanya akan berakhir dengan perdamaian. Kedua petinju saling berpelukan. Luka dan darah di wajah ternyata bukan pemicu dendam di luar pertandingan. Sorak penonton mengiring sang jagoan keluar dari arena.”Kami bertinju untuk berdamai”, ujar sang petinju sambil melambaikan tangannya kepada penonton.
 Pertarungan berikutnya mulai dipersiapkan. “Mosa laki” mulai melirik para pemuda di masing-masing kubu petinju.. Mereka ini ibarat “promotor” yang mencari para petinju yang ingin mengadu ketangkasan sebagai petinju adat di tengah arena. Biasanya ada jago – jago tinju dari masing – masing kampung. Kejelian para mosalaki lah yang mempertemukan mereka di tengah arena. Caranya macam – macam, mulai dengan membujuk secara baik - baik, memanas – manasi bahkan kadang – kadang dipaksa dan diseret  ke “ring”. Pada saat mosa laki sedang mencari petinju dan para pembantu menyiapkan petinju untuk tampil di arena, masyarakat dihibur dengan kesenian “melo ‘etu”. Ini adalah kesenian rakyat yang terdiri dari tarian dan nyanyian diiringi tetabuhan dari sebatang bambu yang diletakan didepan sekelompok penyanyi lagu adat sambil memukul – mukulnya dengan batang kayu. Mereka akan bernyanyi bersahut – sahutan dengan seorang penari yang berfungsi sebagai solois dan dirigen . Syair lagu berisikan kata – kata pujian dan nasihat bagi para petinju. Pada saat petinju sedang bertinju, rombongan melo etu  beristirahat. 
 Kegiatan tinju dan melo etu akan terus digelarkan secara bergantian sampai tidak ada lagi petinju yang mau bertinju. Hari menjelang senja, sesepuh adat menyiramkan satu tempurung air ke tengah – tengah arena sebagai tanda orang harus bubar dan kembali ke kampung masing – masing untuk nonton lagi ke kampung – kampung lain yang ada adat tinju sesuai giliran waktu yang sudah ditentukan sesuai peredaan bulan.
 Selamat menyaksikan.......
 Bapak Syrilus Bau Engo, narasumber dalam tulisan ini.


Kamis, 08 Desember 2011

Pantai Pipitolo, Nagaroro (Pantai Batu Putih)

 Ada beberapa opsi yang aku, Mas Baktiar, Mas Kadek dan Mas Didimoezh bahas untuk hunting hari minggu. Diataranya ke Riung, ke Mauponggo dan ke Nangaroro. Pilihan akhirnya jatuh ke Nangaroro. Pertimbangannya di sana ada pantai batu putih. Tempat yang sama sekali belum pernah kami abadikan. Tentu lebih seru dan menantang.
Dengan menggunakan mobil pinjaman, kami berempat meluncur ke Nangararoro. Berhenti sebentar di daerah Aegela. Mengabadikan turunya hujan di kejauhan yang tergambar dengan jelas dan indah. 4 orang generasi penerus Nagekeo yang baru pulang gereja sore menghampiri kami. Meminta kami untuk memberikan mereka tumpangan ke kampung mereka yang jaraknya kira-kira 1km dari tempat kami memotret hujan. Kebetulan searah, okelah. Mereka kemudian turun di kampung mereka sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih. Anak-anak yang baik.
Perjalanan berlanjut. Sampai di Nangaroro, kami memutuskan untuk parkir kendaraan dekat bibir pantai. Di sebuah sekolah dasar yang di bangun dekat dengan bibir pantai. Trekking di mulai. Charles, teman kami dari Nangaroro, ikut bergabung. Kami pun menelusiru pantai batu putih yang berada tepat di depan sekolah dasar tersebut.
Pantai yang indah. Sayang agak kotor. Seharusnya bisa di rawat dengan baik. Karena bisa juga menjadi potensi pariwisata yang unik. Unik, mengingat batu-batu putih tersebut munculnya baru dua tahun terakhir ini. Sebelumnya pantai ini adalah pantai berpasir. Warna putih memantulkan cahaya dengan sempurna. Kalau bersih, tentu lebih indah. Batu-batu putih tersebut hanya ada di sekitar pantai ini. Trekking di atas batu cukup menguras tenaga. Plus harus konsentrasi biar tidak terjatuh. Maklum batunya besar-besar dan cukup bulat bentuknya. Mudah tergelincir kalau kurang hati-hati. Kami trekking dan nongkrong di pantai ini sampai agak malam. Ingin mengabadikan petir yang silih berganti di kejauhan. Aku yang kurang beruntung. Petirnya keburu kabur hahahaha...
Penduduk Nangaroro mengenal pantai ini dengan nama Pantai PIPITOLO. Tempat yang menurut mereka cukup angker juga. Tentu dari cerita-cerita yang beredar berdasarkan kejadian atau fenomena ‘seram’ di sekitar pantai tersebut. Kami berprinsip, niat kami baik. Sudah permisi. Amanlah tentunya. Lancar jaya hehehehe... setan tidak mungkin mengganggu setan hahahahaha.... *lirik mas Baktiar*
Entah sampai kapan batu-batu putih itu akan menghiasi pantai ini. Yang pasti kami beruntung bisa mengabadikannya dari berbagai sudut. Saking semangat mengabadikan pantai ini, tangan mas Kadek cidera kecil, tergores pecahan botol yang ikutan nagkring di atas batu karang besar yang di jadikan tempat untuk memotret. Perawat Puskesmas Nangaroro, yang manis tentunya, merawat tangan mas Kadek dengan cukup baik. Aman.
Pantai batu putih, selalu di hati...

------>Nangaroro, 4 Desember 2011

Senja di Pelabuhan Ende

Ke Kota Ende. Untuk beberapa urusan. Urusan kantor dan urusan cinta hehehe...
Setelah satu urusan rampung, aku berpikir untuk mencari ‘bahan’ untuk di potret. Beruhubung urusannya berlanjut esok hari. Sekitar jam 4 sore aku memulai ‘pencarianku’. Keliling kota ende yang kecil. Beberapa bibir pantia ku kunjungi untuk medapatkan ‘titik’ terbaik. Cuaca yang kurang mendukung sedikit mengganggu pencarianku.
Add caption
Setelah berkeliling beberapa saat, perut mulai menunjukan gejala butuh ‘asupan’ logistik hehehehe... Bakso kotak menjadi pilihan untuk ‘merawat’ perutku ini. Semangkok bakso dan segelas teh hangat, plus sebatang dji sam soe memberikanku kekuatan lagi untuk melanjutkan pencarianku.
Mentok. Kalimat yang saat itu bermain di kepalaku. Atau aku yang kurang feel akibat kondisi cuaca. Dermaga Pelabuhan Ende akhirnya menjadi tujuan akhir untuk nongkrong. Sambil merokok tentunya. Menonton kecerian generasi penerus kota ende yang asik bermain sepeda di dermaga, loncat dari dermaga dan berenang ke tepian. Sungguh asik.
Setengah jam berlalu. Mendadak terjadi perubahan warna langit. Sebelumnya datar dan gelap, menjadi kemerahan dalam gulungan awan. Langit memang susah diprediksi keadaannya. Dan ini kesempatan yang tidak kusia-siakan tentunya.
Setengah jam mengabadikan senja di Pelabuhan Ende. Seadanya. Sesuai kemampuan... di bantu gradual ND dan grad-tobbacco TIAN YA...
Sebatang dji sam soe mengakhiri semuanya. Sambil menatap langit indah yang perlahan diselimuti malam. Pelabuhan Ende perlahan menjadi sepi. Tinggal riak ombak dan alunan suara musik melayu dari kapal barang yang sandar di dermaga. Saatnya pulang ke rumah.

------>Ende, 6 Desember 2011

Rabu, 07 Desember 2011

Tapaleuk di Rendu dan Kesidari



Tapaleuk Perbukitan Rendu 
Debu naik tinggi saat roda-roda truk menerobos jalan tanah kering berbatu. Debu nyaris menghalangi pendangan mata memaksa kami menutup kaca kendaraan. Tapi Pey yang mengendarai kendaraan yang kami tumpangi tetap melaju menembus bubungan debu jalan, menunjukkan kepiwaiannya yang sudah malang melintang dengan daerah Nagekeo yang penuh dengan jalan meliuk-liuk ini. 
Perjalanan ke Rendu yang melintasi jalur tengah merupakan jalan terdekat untuk menuju ke Bajawa, ibukota kabupaten Nagekeo ini memang dipenuhi dengan jalan naik turun dengan tikungan tajam mungkin karena daerah adalah kawasan perbukitan bebatuan, sepanjang jalan banyak diapit bukit-bukit berbatu yang telah terpotong. Jalannya pun banyak berupa jalan yang sempit sehingga kalau harus berpapasan dua kendaraan roda empat harus salah satu mengalah dahulu. 
Sekitar jam lima lewat dua puluh kami sampai di kawasan Rendu. Rendu ini merupakan kawasan perbukitan kosong yang sangat luas, daerah yang sangat cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan ternak. Walaupun ketinggiannya sekitar 450 meter, namun rupanya Rendu bukanlah daerah subur. Meski masih terlihat kering namun rumput-rumput mulai tampak tumbuh menghijau. Hujan yang sekali dua turun beberapa waktu lalu kemungkinan penyebabnya. 
Dari Rendu ini bisa dilihat gunung Ebulobo yang sering tampak diselimuti awan bagian tengahnya dan gunung Inerie yang tampak bagai sebuah cungkup runcing segitiga. Menurut Didi yang pernah naik di kedua gunung, Ebulobo jauh lebih mudah didaki daripada Inerie karena gunung Inerie bagian atasnya lebih banyak dipenuhi pasir sehingga mudah longsor. 
Di atas salah satu bukit kami duduk-duduk menunggu senja turun. Matahari kuning sempat muncul sesaat sebelum awan menelannya kembali. Keasyikan menikmati senja di sini, entah sudah berapa banyak mangga yang masuk ke perutku. Mangga-mangga ini kami beli di pertengahan jalan menuju kesini, di daerah itu beberapa rumah yang punya mangga menjual mangganya di depan rumah, waktu itu yang menjual mangga seorang anak kecil perempuan. Ada sekitar dua puluh buah mangga, karena kami mendapat harga lima ribu rupiah per harga lima buah. Mangga-mangga ini rasanya manis bahkan walau masih keras, sehingga sedikit membuat aku dan yang lain agak lupa diri. Nanti setelah ini ada yang harus rela perutnya mulas karena sudah dalam kategori overdosis makan mangga hahaha. 
Setelah malam turun kami turun kembali ke Mbay, di rumah pak Ndus kami singgah dan ngobrol-ngobrol ditemani segelas kopi yang nikmat. Kadek sepertinya ketagihan sama kopi pak Ndus. Tanpa sadar jam 22.20 saat kami pamit dari rumah pak Ndus, suasana beranda rumahnya yang adem membuat kami jadi betah disana.


Tapaleuk Perbukitan Kesidari 
Ini adalah daerah yang paling sering aku kunjungi karena memang letaknya dekat dari Mbay. Dulunya kalau aku memotret disini sering aku tulis sebagai kawasan perbukitan Mbay, ternyata nama daerah ini adalah Kesidari. 
Besok sorenya, kami kembali tapaleuk ke kawasan perbukitan Mbay yang baru aku tahu namanya kalau daerah ini namanya Kesidari. Kalau kemarin kami hanya berempat maka kali ini mas Didi ikut serta, sayang Selvianto tidak bisa ikut karena sedang keluar kota untuk mempersiapkan pernikahannya. Di kawasan perbukitan Kesidari, kami memilih daerah yang cukup tinggi untuk bisa mendapatkan view senja. Sekarang kawasan perbukitan ini sering secara olok-olok kami sebut dengan TK (Tai Kerbau) karena memang banyak sekali ranjau tahi sapi di sepanjang perbukitan ini. 
Agak berbeda dengan dua minggu sebelumnya dimana kawasan ini lebih kering dengan rumput-rumput kering berwarna putih, sekarang telah tumbuh rumput-rumput hijau walau belum cukup rata. Hujan masih belum turun banyak sehingga belum semua daerah perbukitan hijau rata. Sore itu perbukitan di bawah tidak turun kabut seperti biasanya, langit sedang cerah walaupun di ujung barat matahari masih terhalang awan tipis. Bulan separuh tepat berada di atas kepala saat jam menunjukkan pukul enam sore. Berbeda dengan dua minggu kemarin yang saat matahari tenggelam di sisi timur bulan purnama kuning sebesar tempayah muncul di sebelah timur. 
Minggu pagi berikutnya, kami berempat, aku dengan Kadek, Eddy dan Didi kembali ke Kesidari dengan sepeda motor . Kali ini motor bergerak lebih jauh. Target kita kali ini adalah di kawasan perbukitan di sisi sebelah selatan bukit TK. Berangkat sekitar jam lima lewat tiga puluh pagi, aku yang hanya memakai rompi dan Kadek yang hanya berbaju kaos dalam putih harus rela kedinginan di boncengan saat motor-motor kami melintas ke arah perbukitan. Ini berbeda dengan penampilan Eddy dan Didi yang lengkap berjaket dan tas kamera model punggung. 
Kawasan Kesi deri ada banyak pohon yang baru belakangan baru kuketahui kalau itu adalah pohon Mengkudu hutan. Bentuk daunnya lebih kecil dibanding dengan daun Mengkudu pada umumnya, dan itu yang membuatku hampir tak mengenali. Buahnya yang bulat dan kecil-kecil juga berbeda, yang sama adalah motif dan bau buahnya. Sepertinya penduduk sekitar tidak memanfaatkan keberadaan pohon ini kecuali sekedar untuk kayu bakar, karena sepertinya pohon-pohon ini tumbuh liar. 
Kami sempat menelusuri perbukitan sampai kesisi miring menuju ke arah bawah lembah. Sisi bawah lembah ternyata banyak pepohonan, mungkin karena letaknya yang terlindungi sehingga bagian lembah tidak kering seperti bagian atas. Beberapa rombongan sapi melintas di kawasan perbukitan ini, baru kutahu kemudian bahwa masyarakat juga biasa tidak mengandangkan ternak melainkan hanya menggiring ternak-ternak ke lembah saja


Tulisan asli: Tapaleuk Nagekeo (Bagian I)