Sabtu, 15 Oktober 2011
Ilalang Semusim
Langit begitu biru dan matahari masih garang menyala-nyala walau bayangan telah lebih panjang dari badan. Angin menerabas di sela-sela ilalang yang telah kuning mengering. Sekarang udara panas mulai menerjang, hamparan sabana yang biasanya hijau membentang kini dipenuhi onggokan-onggokan ilalang yang mengering. Sebagian batang ilalang saling berpilin kala ujung-ujung batangnya yang berbulu dan dipenuhi bulir-bulir saling melekat satu sama lain.
Bukit-bukit yang biasanya menghijau telah bermetamorfisis setelah melewati satu musim menjadi padang batu dengan warna kecoklatan yang mendominasi. Ilalang sedang tertidur sekarang. Di beberapa titik bukit tampak warna kehitaman pertanda sabana-sabana itu telah habis dibakar. Masih ada satu dua bukit yang berwarna kuning karena ilalang belum sepenuhnya mengering tapi itu pun tidak akan lama, paling lama dua minggu aku akan pastikan bukit-bukit itupun akan berwarna sama.
Harusnya aku di rumah, panas seperti tak terkira di bulan begini. Bahkan sekalipun aku sekarang berteduh di bawah pohon akasia yang masih menyisakan daun-daunnya yang terus gugur. Aku berharap hari ini awan akan datang, dan sore disini menjadi sedikit teduh namun panas rupanya masih belum mau berkompromi. Tapi aku menikmati duduk disini di sebuah bangku kayu panjang yang tersusun dari batang-batang kayu kecil. Sepertinya bangku ini dibuat oleh penggembala-penggembala yang suka menggembalakan ternaknya disini, karena selain bangku ini aku juga melihat sebuah rumah gubuk kayu kecil beratap daun lontar yang dibangun di cerukan bukit tak jauh dari bangku ini. Jika kamu ada pada saat itu, maka diwaktu sore menjelang ternak dibawa pulang akan terdengar lenguhan-lenguhan sapi yang berjalan rombongan dengan satu atau dua orang penggembala dibelakangnya.
Aku suka dengan simponi senja hari di atas bukit ini, menikmati suara-suara ternak yang melenguh dan teriakan-teriakan penggembala yang menggiring ternaknya. Rombongan burung-burung kecil yang berkicau ramai mencari tempat bermalam, kadang singgah satu pohon ke pohon lain sampai menemukan tempat yang pas untuk beristirahat malam. Kadang-kadang aku juga masih mendapati bunyi pokok-pokok pohon ditebang berdentang-dentang disusul bunyi kerosak saat sebuah pohon tumbang. Tapi yang sering kulihat ditebang disini adalah pohon lontar, mungkin karena sudah tua dan tidak produktif.
Sebenarnya dari sini tak lebih dari 5 rumah yang tampak, namun karena sepi sehingga bunyi-bunyi kecil itu terdengar riuh rendah memenuhi udara. Anak-anak yang berlari-lari pulang mandi, ibu-ibu yang sibuk di belakang rumah berkelontangan dengan alat-alat dapurnya dan suara grak-grok babi yang dikandangkan terpisah tak jauh dari rumah. Sekali dua tokek juga ikut menambah simponi senja hari disini.
Tapi sepertinya saat-saat seperti ini tak akan lama. Di balik beberapa bukit di seberang mata sudah banyak rumah yang dibangun. Jalan aspal sebentar lagi juga akan melewati sisi bagian bawah bukit ini, artinya akan semakin mudah orang-orang membangun disini.
Bahkan bukit-bukit yang pada musim hujan hanya tampak hijau sekarang terdapat jajaran pokok kayu kecil yang menjadi pagar pembatas kepemilikan.
Aku tahu, suatu ketika nanti aku akan rindu simponi ini. Rindu yang tak tahu kapan akan kembali saat tanah-tanah di bukit ini terjamah diaroma kota. Rindu ini seperti rinduku padamu di kala ilalang menghilang seperti ini.
Aku masih mengingat dengan jelas denting-denting nada yang keluar dari senar gitarmu. Ada kalanya engkau bersenandung mengiringi nada lagu itu namun lebih sering kau biarkan denting-denting itu menyanyikan syairnya sendiri. Engkau mengajak nada-nada itu menggembara sendiri melintasi sabana-sabana layaknya angin yang menyisir celah-celah rerumputan. Tapi ada satu yang pasti, kau akan menghentikan denting itu kala senja mulai mengarak awan-awan di langit. Dan itulah saatnya kita diam dan menjadi pendengar dan pengamat alam yang sedang melakukan simponi dengan pencahayaan luar biasa di langit.
Kini, saat rinduku padamu mulai mendekat pasti justru aku seperti dibayangi kehilangan segala bukit sabana yang ilalangnya hanya semusim ini. Jika aku pergi besok, entah apakah saat aku kembali masih akan kutemui segala simponi alam ini ataukah aku harus menjenguknya di tempat lain.
Tiba-tiba aku menjadi ragu, rindu ini terlalu besar untuk kubayangkan. Baiklah ia kulepaskan hingga tak menjadi beban perjalanan. Dan aku juga menjadi ragu padamu, apakah denting-denting itu masih kau simpan bersamamu ataukah mengering seperti ilalang semusim ini.
Nagekeo - September 2011
tulisan ulang dari blog Indonesia Sungguh Indah: Ilalang Semusim