Siapapun yang melintas di Kecamatan Boawae,Kabupaten Nagekeo, matanya akan tertuju pada puncak Gunung Ebulobo. Mungkin anda juga salahsatunya yang penasaran untuk bisa menaklukakn ketinggiannya. Saya pun demikian, setiap kali melintas di wilayah Boawae, sekedar istirahat sebentar saya membayangkan bagaimana jika suatu kelak bisa memandang dunia dari puncak itu.
Hingga suatu hari, di tanggal 28 Agustus 2011, saya bersama dua orang sahabat membulatkan tekad untuk menaklukan satu-satunya gunung berapi di Nagekeo itu. Lumayan, tanggal merah yang tercetak di kelender hari itu, sejenak bisa dijadikan waktu berleha-leha bersama sahabat NPC(NagePhotoClub) . Hitung-hitung sekedar hunting mentari pagi dari puncak Ebulobo.
Sabtu sore ekspedisi kecil kami mulai bergerak dari Mbay menuju Boaawae. Hanya memakan waktu sekitar 1,5 jam, kami sudah berada di sebuah warung Boawae untuk mengisi “Megazine” alias perut.
Ebulobo dari depan warung Boawae
“Nasi ikan dua ya bu, jangan lupa STMJ satu dan teh panas dua ”, Andris,sahabatku mengejutkan sang pelayanan yang kelihatan lagi melongo dengan “kontainer” bawaan kami. Maklum, empat buah ransel besar berikut dua buah tripot mengambil alih fungsi meja warung.”Jangan pakai lama ya “, lanjut Didimoezh yang diikuti wajah cemberut sang pelayan. Ya, beginilah sikap backpacker NPC kalau sudah “sakaw”.
Tak lama kemudian, bery-beryku berdering. Ya, itulah sebutan buat ponselku yang tak mau kalah dengan kemewahan blackberry. Wily, sahabatku sms, katanya dia sudah siap menunggu di Desa Mulakoli. Inilah sahabatku yang siap menjadi guide buat kami ke puncak Ebulobo. Setelah cash dan menyambar sebungkus kretek di warung, kami melanjutkan perjalanan ke Desa Mulakoli. Disinlah pendakian akan di mulai. Desa Mulakoli tepat berada dikaki Gunung Ebulobo. Jaraknya dari Boawae hanya sekitar 8km.Namun jalannya yang mendaki dan berlubang-lubang terasa seperti belasan kilometer.
Puncak Ebulobo dari Desa Mulakoli
Jam delapan malam kami sudah berada dirumah wily. Walaupun hanya di bawah penerangan lentera kecil, suasana kekeluargaan begitu terasa. Tidak menunggu lama empat cangkir kopi kental muncul. Sruupppp….kopi panas cukup mengusir hembusan dingin dari celah dinding. Setelah sedikit ngobrol dan menyiapkan empat buah senter, kami pun beristirahat. Alarm disetel ke pukul 2.30. Pukul tiga dinihari adalah waktu pendakian nyang kami tentukan. Sepertinya kami bertiga cukup susah memjamkan mata. Bayangan puncak Ebulobo terus mengusik rasa kantuk.
Rasanya baru sebentar saja beristirahat, alarm sudah memanggil di tengah kegelapan ruang tamu. Tidak menunggu lama, empat buah ransel berpindah ke masing-masing pundak . Saya dan Didimoezh kebagian ransel kamera dan tripot. Sementara Andris dan Wily harus berjibaku dengan ransel logistik. Maklum, delapan botol besar air mineral berikut sejumlah corned cukup terasa berat. Belum lagi tabung gas kecil yang akan dipakai sebagai alat masak menjadikan Andris tenggelam dibalik ransel.
Salah satu keluarga Wily akhirnya memilih untuk ikut bersama kami. Walaupun dia sendiri merupakan penduduk di Desa Mulakoli,namun malam itu adalah pengalaman pertamanya ke Ebulobo. G-shock ku menunjukan angka 02.50. GPS Garmin Colorado 300 di start dari Rumah Wily.
Perlahan namun pasti kami mulai merayapi punggung Ebulobo dari arah timur. Satu jam berlalu, rasa lelah mulai terasa. Jarak kami mulai sedikit berjauhan, seperti membentuk dua kelompok. Saya dan Andris berada paling belakang. Ada sekitar empat titik pendakian yang terasa melelahkan. Kami harus merayap perlahan memegang pada rumput dan ranting pohon . GPS baru menunjukan ketinggian 1000m. Perasan lelah bercampur putus asa mulai mengalir. Bagaimana tidak, data yang saya search di Google menunjukan ketinggian Ebulobo 2300m, sedangkan kami baru sampai diketinggian 1000m. Arlojiku sudah menunjukan pukul 04.15. Oh my God….. tinggal satu jam saja untuk bisa menyaksikan aurora pagi. Kurang lebih satu jam berlalu terdengar hembusan daun-daun cemara. Tanaman di ketinggian ini seperti menjadi pembakar semangat. “Seribu enam ratus bro”, teriak Andris dihadapan cahaya GPS. Sepertinya sahabatku ini sedang membaca pikiranku. Wily juga tak mau kalah, dari depan dia teriak,masih tiga kilo lagi. Gila….! Yang benar aja. Matematikaku mulai jalan, elevasi Ebulobo ini bisa 45 derajat, data Google 2100m, saat ini kami di ketinggian 1600m lebih. Mungkin, kalau dikira-kira masih ada satu kilo meter lagi. Benar saja, seiring langit mulai kemerahan, kami mulai memasuki area bebatuan. Kalau di pandang dari kaki gunung, kawasan bebatuan sudah mendekati puncak.
Siluet Andris sebelum menjelang mentari terbit
“Mantap bro…”, teriak Andris diarah depan sambil menunjuk kearah saya dan Didimoezh. Ternyata gulungan awan yang indah ada di belakang kami. Sungguh tidak terasa, putus asa bercampur kelelahan membawa kami ke sebuah negeri diatas awan. Tidak menunggu lama, saya dan Didimoezh memasang tripot dan camera. Spot pengambilan gambar sudah tidak diperhatikan lagi,yang penting aurora ini tidak terlewatkan. Matahari masih malu-malu menununjukan ujudnya. Awan yang berarak cepat ibarat gelombang samudera yang saling berkejaran. Sayangnya, rencana “Slow Speed” harus gagal, pasalnya filter gradND tidak dibawa.
Mentari pagi dari puncak Ebulobo
“ Selamat pagi dunia”, ucapku dalam hati seiring naiknya mentari pagi. Setelah mengambil beberapa gambar, kembali kami melanjutkan pendakian ke puncak. Batu-batu lepas dengan kemiringan hampir mencapai 50 derajat membuat kami harus lebih berhati-hati. Rombongan kami sempat berpapasan dengan rombongan lain yang mengantar seorang turis Yunani. Pukul 09.00 kami sudah sampai di pinggiran kawah. Aroma belerang sempat menyesakan dada. Sangat disarankan untuk memakai masker saat mendekati kawah. Apabila kita ingin melihat pemandang dari berbagai penjuru mata angin, kita harus mengitari lereng-lereng puncak.
Menyusuri lereng kawah Ebulobo
. Ada sebuah gua kecil, sayangnya burung wallet penghuni gua ini telah diusik oleh tangan-tangan jahil. Ke arah timur kita dapat memandang puncak bukit Lambo. Sedikit ke selatan kita dapat melihat puncak gunung Ia di Ende. Tengok ke barat, mata kita akan tertuju ke puncak gunung Inerie di Kabupaten Ngada.
Puncak Inerie dari Ebulobo
Puncak yang paling tertinggi di Gunung Ebulobo-Andris front camera-Background Mauponggo&Maumbawa.
.Perbukitan Kecamatan Mbay-Kecamatan Aesesa
Desa Boloroga-Mauponggo
Puncak Bukit Lambo
Sebuah Salib yang belum ditahu keberadaannya sejak kapan.
Setelah beristirahat sejenak sambil mengabadikan beberapa obyek, kembali kami menuruni lereng di bagian timur. Saatnya mencari tempat di bawah naungan pohon untuk mengisi perut. Logistik mulai dikeluarkan satu persatu. Sosis, corned dan biskuit menjadi hidangan santap siang kami. Ada yang sedikit unik di lakukan oleh Andris. Alat las digunakan sebagai pemanas corned. Alhasil, corned hangus rasa kaleng menjadi makanan dengan cita rasa unik.
Sekitar jam satu kami kembali pulang. Tidak mau dengan resiko jari-jari kaki lecet, satu persatu sepatu mulai di tanggalkan. Sayangnya, binatang-binatang hutan tidak nampak satupun dalam perjalanan pulang. Hanya sesekali terdengar kicau burung dari kejauhan.Mungkin karena jauh dari sumber air, gunung Ebulobo bukanlah surga buat para satwa. Desa Mulakoli semakin dekat, Puncak Ebulobo pun semakin jauh di belakang meninggalkan jejak kekaguman. Terimakasih Tuhan, indah ciptaanMu untuk Nagekeo.
Photo narsis Didimoezh menuruni Gunung Ebulobo-kreasi bersama picture style update from MaumerePhotographerClub.
Photo and teks by.Yanto Mana Tappi (NagePhotoClub).