![]() |
| Setiap bingkisan dari sanak keluarga dicatat oleh petugas |
![]() |
| Keluarga membawa bingkisan beras dan tikar |
![]() |
| Setiap bingkisan dari sanak keluarga dicatat oleh petugas |
![]() |
| Keluarga membawa bingkisan beras dan tikar |
Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan nyanyian. Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat panen. Menariknya, dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya sebagi ajang perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian akan dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut dalam tarian dan nyanyian. Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki – laki pergi ke “loka lanu” yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan para leluhur sambil memohon keselamatan bagi para petinju, sehingga para petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam kenyataannya, luka karena bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh. Sesudah upacara persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung sambil menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam seremoni pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda bahwa acara tinju dapat dimulai. ![]() |
| Add caption |
Sekitar jam lima lewat dua puluh kami sampai di kawasan Rendu. Rendu ini merupakan kawasan perbukitan kosong yang sangat luas, daerah yang sangat cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan ternak. Walaupun ketinggiannya sekitar 450 meter, namun rupanya Rendu bukanlah daerah subur. Meski masih terlihat kering namun rumput-rumput mulai tampak tumbuh menghijau. Hujan yang sekali dua turun beberapa waktu lalu kemungkinan penyebabnya. Kesibukan benar-benar m
embuatku jenuh. Kesibukan juga membuatku sering kehilangan moment ‘cantik’. Namun semua itu berkah. Ku terima dengan hati yang gembira. Toh, dapat menatap keindahan alam ini dengan mata saja sudah teramat sangat menghiburku. Memberikanku tenaga extra untuk selalu giat bekerja.
Senja nanti pasti datar. Begitu pikirku pada awalnya. Langit tidak terlalu berwarna. Plus teman huntingku, Didimoezh, masih lembur di kantornya. Tak ada niat untuk hunting atau trekking sebenarnya, walau sore ini ku dapat sedikit waktu untuk beristirahat. Karena malam ku harus latihan nyanyi sama teman-teman vocal groupku.
Waktu menujukan pukul 5 sore. Entah mengapa,mungkin karena lagi ada feel, ku putuskan untuk sedikit berjalan-jalan sore. Putar-putar kota mbay. Mendekati perkotaan aku di hadapkan pada 2 pilihan. Jalan-jalan ke bendungan Sutami, ataukah ke bukit di daerah Penginanga. Aku kemudian memlih ke bukit saja. Sudah lama tidak ke sana juga. Siapa tahu malah dapat moment bagus.

Kalau mendapatkan moment landscape adalah suatu keberuntungan (kata para fotografer handal dalam beberapa majalah fotografi), maka saya mungkin cukup beruntung sore ini karena awan dalam cuaca mendung mendadak menjadi ‘manis’ untuk diabadikan. Aku berhenti di suatu tempat yang selama ini tidak menarik perhatianku. Tempat yang biasa di mataku dan di mata lensa KITku. Namun dengan pinjaman lensa Fish Eye dari mas Baktiar Sontani, aku berimajinasi dan melihat tempat ini punya ‘sesuatu’ yang indah. Imajinasi itu kemudian menuntunku ke sini. Bukit penambangan pasir. Tepat di pinggir jalan utama Aegela-Mbay.
Di sana mendung, disini belum tentu. Opiniku. Mulailah ku siapkan kamera kesayanganku untuk memotret. Langit gelap di kejauhan. Tampak ‘gambar’ hujan yang turun ke bumi yang semakin jelas dan pekat. Membentuk sebuah pemandangan yang memikat. Setelah beberapa jepretan, terasa titik-titik air hujan mulai membasahiku. Pemandangan yang indah (menurut aku)membuatku nekad untuk sedikit lebih lama bertahan pada keadaan ini. Berpindah-pindah di sekeliling tempat penambangan pasir ini, mencari sudut-sudut yang indah. 1 menit tepat setelah shutter terakhirku di bukit itu, hujan deras menghampiriku. Jadi kalang-kabut, kabur meyelamatkan perlengkapanku. Kamera terpaksa segera kusembunyikan di dalam jaket. Tak ada waktu lagi untuk memasukannya ke dalam tas kameraku. Hujan sudah terlajur deras masalahnya. Kebetulan ada sebuh kios kecil di persimpangan jalan Mbay-Aeramo. Aku memilih untuk berteduh demi keselamatan peralatanku. Masih ada 1 jepretan lagi di tempatku berteduh. ‘Gambaran’ persimpangan jalan ke Mbay dan ke Aeramo dalam guyuran hujan. Motorku jadi model dadakan...hehehehehe... Ngobrol sebentar dengan pemilik tempatku berteduh menjadi opsi menanti hujan redah, sebelum aku kembali ke pondokku.
Thanks a lot buat mas Baktiar Sontani atas pinjaman lensanya. Dari pada nganggur kan mas lensanya...hehehehehe...
Ku sajikan foto-fotoku sore ini dalam sedikit cerita...
Foto di tempat penambangan pasir daerah Penginanga...
Foto yang kubuat... Sebelum hujan menghampiriku.
----Mbay, 6 November 2011