Abrasi ibarat virus yang sedang menjalar dalam tubuh. Pada
stadium tertentu barulah sang penderita dapat didiagnosa dan diusahakan
penyembuhannya. Sekiranya abrasi seperti inilah yang saya lihat disalah satu
desa disudut kota Mbay. Terletak dikawasan utara Kabupaten Nagekeo, desa ini bisa diibaratkan sedang sekarat diserang virus abrasi. Entah dimulai oleh
siapa dan sejak kapan, perlahan lahan air laut semakin mencaplok sebagian
pemukiman. Tidak hanya itu, hutan bakau turut musnah, yang tertinggal hanya
cabang dan ranting mati. Beberapa pohon terlihat habis ditebang orang. Disudut
lain, bakau mati tanpak sebagai penjala sampah. Realitas ini hidup
berdampingan dengan para penduduk desa .Puluhan rumah yang berjejer
disepanjang pantai berdiri sombong, seakan siap menantang arus ombak pantai
utara. Bisa jadi suatu saat para penghuninya terbawa arus saking terlenanya
dengan kemewahan yang diberikan laut. Semoga tidak ada yang saling membenarkan
jika suatu saat semua yang disini hanya batu nisan. Logikanya,kebenaran bisa
dimulai dari sekarang..
Dari cerita opa Tote, salah satu pensiunan yang
pernah mengabdi dari tahun 1970 diMbay, dimasa itu Nangadhero hanyalah sebuah tempat
tak berpenghuni. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hutan bakau dan
rumput liar. Entah dimulai dari siapa dan dari kapan, ditahun 1980-an beberapa penduduk
mulai mendirikan tempat tinggal. "Sekitar tahun 1983 ada beberapa penduduk
yang tinggal disitu, mereka datang dari pulau Palue untuk mencari ikan."kata
opa Tote. Mereka hanya bangun tempat tinggal berupa pondok kecil. Ada juga
beberapa orang yang datang dan tinggal pada musim teretentu, mereka itu para
penangkap nener",lanjutnya.
Tahun 1990-an kondisi Nangdhero mulai berubah. Para nelayan dari Sulawesi selatan mulai banyak berdatangan dan memilih untuk menetap. Berdampingan dengan pelabuhan Marapokot, Nangadhero semakin menjanjikan
bagi penduduknya. Para pelaku bisnis dari Sulawesi mulai melirik
keuntungan. Alhasil,kawasan ini mendapat pengakuan dari Pemda sebagai desa.
Fenomena alam tak bisa dihindari. Hampir setiap tahun,keluhan
penduduk dsini hanya pada masalah abrasi. Bencana ini tak pandang
buluh, pelabuhan kapal ikan turut menjadi korban. Abrasi kian menjadi
keresahan bagi desa Nangadhero.
Syukurnya, pemda tak tinggal diam. Puluhuan meter bronjong
mulai dibangun pada sepanjang pantai. Bronjong ini diklaim sebagai pemecah ombak
yang dapat mengatasi abrasi. Pertanyaannya, apakah pembangunan bronjong ini
solusi satu satunya mengatasi abrasi? Lalu bagaimana dengan nasib ekositim lain
seperti bakau yang telah tergerus lahan pemukiman? Apakah ekositim ini harus
menjadi pahlawan penyambung hidup penduduknya? Tidak perlu menunggu kapan, kita
bisa mulai dari sekarang. Tidak perlu menunggu siapa dan berapa, cukup dari ide
kita sudah mulai. Kalau bukan kita siapa lagi....
By. Yanto Mana Tappi (2014)
Foto & Teks by. Yanto Mana Tappi