Selasa, 05 Maret 2013

"Mbela" Jiwa Sang Ksatria Nagekeo

"Mbela" Jiwa Sang Ksatria Nagekeo

Hamparan tropis yang membentang dari sabang sampai merauke adalah mutiara yang terkandung dalam ibu pertiwi. Mutiara inilah yang selalu di junjung dan senantiasa dilestarikan setiap generasi. Disinilah, keragaman budaya masing-masing daerah kerap menjadi malaikat pelindung mutiara alam raya nusantara. 

Seperti halnya suku Mbare di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat suku Mbare, tanah, air dan seluruh kandungan yang terdapat didalamnya adalah warisan leluhur yang pantang untuk ditentang. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan alam selalu disertai dengan ritual adat. Jadwal prosesi adat saban tahun harus dipatuhi, sebab itu menjadi acuan untuk bercocok tanam, melaut termasuk pula berburu. Lewat prosesi pula, etnis Mbare lebih waspada menghadapi bencana atau malapetaka. Jika mengingkari aturan adat, mereka yakin musibah bakal melanda. Setidaknya, hal itulah yang diwariskan nenek moyang mereka sejak ratusan tahun silam.
"Mosalaki" tetua adat suku Mbare

Salah satu tradisi suku Mbare yang tak lekang ditelan waktu adalah Mbela, sebuah prosesi tinju adat sebagai luapan rasa syukur atas hasil panen mereka. Pergelaran Mbela adalah puncak dari segala bentuk ritual adat yang dilangsungkan dalam setahun. Jika dikaitkan dengan kelender adat, Mbela biasanya dilaksanakan pada musim kemarau sesudah panen. Tradisi Mbela disertai juga dengan prosesi lain yang dapat menentukan jadwal tanam, melaut sampai berburu. Disinilah, tetua adat melihat pertanda akan baik buruknya kondisi alam maupun keberlangsungan hidup dalam suku dikemudian hari. Setidaknya, ini adalah rambu bagi warga Mbare untuk lebih waspada dengan alam maupun sesamanya.

Menjelang prosesi Mbela, masyarakat suku Mbare harus meninggalkan seluruh akifitasnya. Irama gong yang dipukul bertalu-talu memecah kesunyian malam, berkumandang mengajak seluruh warga suku berkumpul dalam kampung adat.
Mbela, bukanlah perkelahian jalanan. Ini adalah tinju murni warisan leluhur, yang dilakukan sejumlah suku di Nagekeo secara bergiliran sesuai peredaran bulan. Walaupun beberapa suku dikawasan kecamatan Boawae kabupaten Nagekeo menyebut tinju adat ini dengan Etu, seluruh prosesnya tidak jauh berbeda.

Pada setiap ajang pertarungan, lelaki Mbare yang ditunjuk harus siap melaksanakan perintah untuk memasuki arena. Mereka tak boleh mengelak, apalagi sampai menolak. Demi harga diri sebagai seorang ksatria, sang lelaki tak boleh gentar. Mereka harus menjadi lelaki sejati meski wajah babak belur.

Lelaki yang lahir dalam suku Mbare, tak akan bisa menolak takdir sebagai petarung. Dari belia, ritual Mbela sudah begitu akrab dengan mereka. Tak heran, ksatria cilik turut hadir menguji ketangkasan dalam pentas adu fisik ini. Inilah sebuah nilai kepercayaan suku Mbare yang ditanam kepada warganya semenjak belia. Tak ada urusan dengan rasa takut, para lelaki dan bocah Mbare paham betul menghormati tradisi tanpa melahirkan amarah dan dendam berlarut-larut.
Dalam Mbela, sang petarung menggunakan gwolet, sebagai alat meninju lawan yang terbuat dari lilitan nilon jala ikan dan didalamnya berisi tulang batang daun lontar. Ujung gwolet dilengkapi pula dengan butiran pasir yang direkatkan dengan getah pohon ara. Sudah tentu yang terkena pukulan gwolet, pasti bakal nyeri. Tapi mereka percaya, rasa sakit ataupun darah yang mengucur demi adat adalah penghormatan pada warisan leluhur.
Aksi petarung membakar emosi penonton diluar arena
Arena Mbela.Disinilah aksi sang ksatria Mbela mempertahankan warisan leluhur
 Photo/teks : Yanto Mana Tappi