Jumat, 21 Oktober 2011

An Evening with Dio and Sheilla

Aku mulai merapikan berkas-berkas kerja dan laptop kesayanganku. Hari sudah cukup sore. Jam dinding di kantor dengan setelan waktu Nasional menunjukan pukul 04.30 WIB. Jam tanganku sendiri menunjukan pukul 05.00 WIB. Lebih cepat setengah jam. Biar tidak telat bangun pagi. Udara persawahan yang dingin di pagi hari membuatku bersahabat akrab degan selimut merah saat pagi menjelang hehehehehe..



Motorku memasuki kawasan pondok. “Aniiii.... Aniiii.... “, suara Dio dan sheilla memecah keheningan sawah di sore hari yang sedikit mendung. Mereka berdua biasa menyapaku dengan panggilan Ani. Panggilan sayang mereka buatku. Capek dan lelah langsung sirna saat melihat wajah lucu mereka berdua. Mereka menyambutku dengan gembira. Tujuan mereja jelas. Ani pasti membawa permen di dalam tas laptop. Jatah permen sore hari segera mereka tagih. Aku memberikan permen kepada mereka. Masing-masing 1 buah permen setelah terlebih dahulu meminta mereka mencium pipiku dan menyuruh kakak mereka, Marten, untuk memandikan mereka berdua, karena mereka berdua dekil sekali. Biasa. Anak sawah. Besar di sawah. Akrab dengan lumpur. Emas dan perak bagi kehidupan mereka.

Selesai berganti pakaian, aku mengambil kamera kesayanganku. Awan yang cukup indah menarik perhatian. Sayang sungguh sayang. Cahaya kurang. Awan yang tebal cukup menghalangi cahaya matahari. Hanya bisa buat foto siluet. Padahal pengen buat landscape yang terang. Komposisi awan yang bagus, menurutku sih hehehehe, masih menarik perhatiaku. Kebetulan Dio dan Sheilla telah selesai mandi. Sudah bersih dan segar. Cocok buat jadi pelengkap keindahan awan sore hari ini.

Ku ajak mereka bermain-main di pematang sawah. “Ayo, ani foto kamu dua eee...”. Dengan gembira Sheilla mengikutiku. Dio ku gendong. Sampai di tempat yang menurutku cukup pas, aku membiarkan mereka untuk bergaya. Sering melihatku memotret dan menjadi objek jepretanku, membuat mereka sudah terbiasa untuk bergaya. Tidak perlu susah-susah mengarahkannya. Anak kecil malah sangat natural untuk bergaya. Yang sedikit susah adalah, saat selesai di potret mereka harus melihat hasilnya. Sambil tertawa gembira. Dio pasti akan bilang, “tataaa...tataaa.....”(kakak)...sambil menunjuk wajahnya di LCD kamera. Maklum. Anak kecil. Belum kenal dirinya sendiri...hehehehe... Karakter wajah mungil mereka mulai kulukis dengan kameraku. Wajah yang polos dan penuh kegembiraan.

Sore kemudian melangkah pergi... berganti pekat yang mulai menghiasi malam. Dio, digendong kakaknya dan sheilla, mengandeng tanganku, kembali ke pondok tercinta kami. Oma sudah menyiapkan minum sore. Teh hangat. Sedapppp... sambil minum teh, mereka kusuapi makan malam. Bergantian. Setelah itu aku mandi.

Dua malaikat kecilku. Menemani hari-hariku di Mbay permai ini. Membangunkanku di pagi hari dan menyambutku saat pulang kantor. Selalu membuatku segar kembali setelah berpeluh dengan kesibukan rutinku. Bahagiaku bersama mereka... : )


----->Mbay, 20 Oktober 2011

Sabtu, 15 Oktober 2011

Ilalang Semusim



Langit begitu biru dan matahari masih garang menyala-nyala walau bayangan telah lebih panjang dari badan. Angin menerabas di sela-sela ilalang yang telah kuning mengering. Sekarang udara panas mulai menerjang, hamparan sabana yang biasanya hijau membentang kini dipenuhi onggokan-onggokan ilalang yang mengering. Sebagian batang ilalang saling berpilin kala ujung-ujung batangnya yang berbulu dan dipenuhi bulir-bulir saling melekat satu sama lain. 


Bukit-bukit yang biasanya menghijau telah bermetamorfisis setelah melewati satu musim menjadi padang batu dengan warna kecoklatan yang mendominasi. Ilalang sedang tertidur sekarang. Di beberapa titik bukit tampak warna kehitaman pertanda sabana-sabana itu telah habis dibakar. Masih ada satu dua bukit yang berwarna kuning karena ilalang belum sepenuhnya mengering tapi itu pun tidak akan lama, paling lama dua minggu aku akan pastikan bukit-bukit itupun akan berwarna sama.

Harusnya aku di rumah, panas seperti tak terkira di bulan begini. Bahkan sekalipun aku sekarang berteduh di bawah pohon akasia yang masih menyisakan daun-daunnya yang terus gugur. Aku berharap hari ini awan akan datang, dan sore disini menjadi sedikit teduh namun panas rupanya masih belum mau berkompromi. Tapi aku menikmati duduk disini di sebuah bangku kayu panjang yang tersusun dari batang-batang kayu kecil. Sepertinya bangku ini dibuat oleh penggembala-penggembala yang suka menggembalakan ternaknya disini, karena selain bangku ini aku juga melihat sebuah rumah gubuk kayu kecil beratap daun lontar yang dibangun di cerukan bukit tak jauh dari bangku ini. Jika kamu ada pada saat itu, maka diwaktu sore menjelang ternak dibawa pulang akan terdengar lenguhan-lenguhan sapi yang berjalan rombongan dengan satu atau dua orang penggembala dibelakangnya. 



Aku suka dengan simponi senja hari di atas bukit ini, menikmati suara-suara ternak yang melenguh dan teriakan-teriakan penggembala yang menggiring ternaknya. Rombongan burung-burung kecil yang berkicau ramai mencari tempat bermalam, kadang singgah satu pohon ke pohon lain sampai menemukan tempat yang pas untuk beristirahat malam. Kadang-kadang aku juga masih mendapati bunyi pokok-pokok pohon ditebang berdentang-dentang disusul bunyi kerosak saat sebuah pohon tumbang. Tapi yang sering kulihat ditebang disini adalah pohon lontar, mungkin karena sudah tua dan tidak produktif. 
Sebenarnya dari sini tak lebih dari 5 rumah yang tampak, namun karena sepi sehingga bunyi-bunyi kecil itu terdengar riuh rendah memenuhi udara. Anak-anak yang berlari-lari pulang mandi, ibu-ibu yang sibuk di belakang rumah berkelontangan dengan alat-alat dapurnya dan suara grak-grok babi yang dikandangkan terpisah tak jauh dari rumah. Sekali dua tokek juga ikut menambah simponi senja hari disini.
Tapi sepertinya saat-saat seperti ini tak akan lama. Di balik beberapa bukit di seberang mata sudah banyak rumah yang dibangun. Jalan aspal sebentar lagi juga akan melewati sisi bagian bawah bukit ini, artinya akan semakin mudah orang-orang membangun disini.
Bahkan bukit-bukit yang pada musim hujan hanya tampak hijau sekarang terdapat jajaran pokok kayu kecil yang menjadi pagar pembatas kepemilikan.



Aku tahu, suatu ketika nanti aku akan rindu simponi ini. Rindu yang tak tahu kapan akan kembali saat tanah-tanah di bukit ini terjamah diaroma kota. Rindu ini seperti rinduku padamu di kala ilalang menghilang seperti ini. 
Aku masih mengingat dengan jelas denting-denting nada yang keluar dari senar gitarmu. Ada kalanya engkau bersenandung mengiringi nada lagu itu namun lebih sering kau biarkan denting-denting itu menyanyikan syairnya sendiri. Engkau mengajak nada-nada itu menggembara sendiri melintasi sabana-sabana layaknya angin yang menyisir celah-celah rerumputan. Tapi ada satu yang pasti, kau akan menghentikan denting itu kala senja mulai mengarak awan-awan di langit. Dan itulah saatnya kita diam dan menjadi pendengar dan pengamat alam yang sedang melakukan simponi dengan pencahayaan luar biasa di langit.

Kini, saat rinduku padamu mulai mendekat pasti justru aku seperti dibayangi kehilangan segala bukit sabana yang ilalangnya hanya semusim ini. Jika aku pergi besok, entah apakah saat aku kembali masih akan kutemui segala simponi alam ini ataukah aku harus menjenguknya di tempat lain.
Tiba-tiba aku menjadi ragu, rindu ini terlalu besar untuk kubayangkan. Baiklah ia kulepaskan hingga tak menjadi beban perjalanan. Dan aku juga menjadi ragu padamu, apakah denting-denting itu masih kau simpan bersamamu ataukah mengering seperti ilalang semusim ini.

Nagekeo - September 2011



tulisan ulang dari blog Indonesia Sungguh Indah: Ilalang Semusim

Dua Purnama di Marapokot, Nagekeo

Tanggal 14 Agustus 2011, sekitar jam 3 sore...


Mas Baktiar Sontani dan Mas Arief Papat , dalam penugasannya ke Nagekeo, menyempatkan waktunya untuk bersama-sama teman-teman NPC, hunting ke marapokot. Kampung nelayan dan pantai yang landai. Cuaca cukup cerah. Langit biru membentang dengan sedikit awan menghiasinya. 

Tujuan utama kegiatan hunting sore itu adalah belajar memotret. Sudah pasti Mas Baktiar Sontani lah yang menjadi guru kami. Kebetulan dia juga membawa 1 buah lensa tambahan, Samyang Fish Eye 8mm, Manual Lens. Beberapa trik dan teknik pengambilan gambar menggunakan lensa itu perlahan dia ajarkan sehingga komposisi tidak terlalu terganggu dengan distorsi lengkungan lensa yang sangat tinggi. 

Tentu saja dia dan Mas Arief Papat yang jadi korban pertama hehehehehe...
Selanjutnya sebuah perahu menjadi korban latihan berikutnya... Posisioning sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik. Cukup banyak shutter yang ‘melayang’ untuk bisa menemukan komposisi terbaik...



Mas Baktiar kemudian menawarkan suatu komposisi untuk di coba. Menjepret lengkungan ombak saat hendak pecah dengan menggunakan lensa Fish Aye. Untuk komposisi yang satu ini saya harus rela basah dan siap-siap kehilangan kamera. Karena saya harus masuk ke dalam laut dan berdiri sejajar dengan ombak yang akan pecah. Resiko kamera terkena air laut di depan mata. Oleh karena itu timing benar-benar di atur. Untuk komposisi yang satu ini hasil yang di peroleh belum maksimal. Yaaahhh... rasa takut kehilangan kamera mengalahkan keberanianku. Tetap saya mencoba menampilkan 1 hasil jepretan komposisi tersebut dari sekian jepretan yang gatot alias gagal total, walau seadanya, sekedar untuk lebih memacu semangat saya jika nanti punya lensa Fish Eye sendiri hehehehe...*www.entahkapan.com*

Perlahan senja menghampiri kami..
Beberapa jepretan untuk senja dan 1 jepretan untuk di tampilkan...

Setelah cukup gelap teman-teman NPC menemani Mas Baktiar dan Mas Arief Papat untuk berbuka puasa. Kebetulan pas bulan puasa. Saya sendirian menanti purnama yang akan terbit saat itu (bagian dari planning hunting kami). Sekitar jam 7an malam, purnama mulai menampakan keindahannya di atas horison laut sawu yang membentang luas di hadapanku. Aku segera mengabari mereka lewat Sh
ort Massage. Pelajaran berikutnya adalah menjepret purnama. Hasilnya pernah Mas Baktiar tampilkan dalam catatanya juga. Saya ingin menampilkan hasilnya yang berbeda warna. Karena kami sempat mencona-coba warna diffuser flash untuk ‘mewarnai’ jepretan kami secara langsung. Kecepatan, apertur dan white balance diatur sesuai arahan Mas Baktiar. Hasilnya sungguh mempesona. Bangga memiliki guru yang luar biasa dalam berbagi dan berkarya...



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal 14 Oktober 2011, sekitar jam 5 sore...


Mas Kadek Maharta Kusuma, dalam penugasannya juga ke Nagekeo, saya ajak untuk hunting purnama lagi, walau kami sendiri dalam kondisi yang sangat-sangat sibuk. Kali ini kami berdua saja. Satu bulan belakangan ini ternyata kami berdua sama-sama kena penyakit ‘bad mood’ fotografi. Bad feel membuat semangat memotret jadi turun drastis. Apalagi untuk komposisi Landscape. Oleh karenanya kami mencoba membangkitkan semangat itu, di sore hari kemarin.


Beberapa jepretan sunset di padang mengawali hunting purnama kami. Lumayan, feel mulai tumbuh dengan komposisi siluet. Saling melihat hasil dan sama-sama memperbaikinya. Sama-sama belajar.


Sebuah jepretan untuk Mas Kadek, degan latar belakang senja.

Sebelum ke tempat yang kami tuju, kami mampir di dermaga utama, menyusuri tepian pantanya, untuk beberapa jepretan perahu dalam senja.

Selanjutnya kami menuju ke TKP. Karena purnama diperkirakan masih sekitar sejam lagi dari waktu kami sampai ke sana, kami berdua kemudian menghabiskan waktu dengan bersantai dan minum black coffe di warteg terdekat. Beberapa batang rokok menemani obrolan kami. Obrolan seputar fotografi dan tentu saja seputar cewek. Topik yang selalu hangat hehehehe...
Kurang lebih 10 menit sebelum purnama terbit (estimasi waktu orang kampung nelayan dan sangat tepat), kami mencari posisi yang pas di pinggir pantai untuk memotret. Setelah ber

jalan-jalan dan melihat-lihat, sebuah perahu yang cukup dekat dengan bibir pantai menjadi objek utama kami untuk ‘menemani’ purnama. Bedanya, dulu pakai lensa Fish Eye, sekarang pakai lensa bawaan alias KIT forever after hehehehehe... Bermodalkan 1 buah tripod kami beraksi.Bergantian. Saling membantu menembakan flash ke objek perahu untuk mendapatkan cahaya maksimal, karena berbeda dengan saat bersama Mas Baktiar dahulu, ada cukup cahaya dari lampu petromax nelayan yang memperbaiki perahunya tepat di belakang kami.
Beberapa jepretan untuk perahu dan purnama yang indah dengan beberapa sudut yang berbeda. Tentu saja menggunakan komposisi yang pernah diajarkan Mas Baktiar Sontani.



Bulan semakin tinggi. Peralatan segera kami kemas. Sambil berjalan menuju ke sepeda motor yang setia menanti kami Mas Kadek bilang sama saya kalau dia baru kali ini melihat indahnya purnama saat terbit di horison hamparan laut. Dan dia senang sekali. Saya juga tentu senang dapat mewujudkan keinginannya untuk memperoleh moment indah ini. Sampai lupa membelikan makan malam buat Mas Leon yang menanti di Hotel... hahahahaha...
Dan seandainya ada cewek yang menemani kami... tentu asoyyy dan romantisssss...hahahahaha....
Dua purnama di marapokot. Bersama para sahabat. Membuatku semakin mencintai fotografi. Mencintai alam yang menyediakan keindahan bagi kita, dan mencintai Sang Pencipta semua keindahan ini. Dan aku membagi keindahan ini buat teman-teman sekalian yang mungkin tidak pernah mengalaminya secara langsung. Dan tentu saja ada maksud ‘implisit’. Bahwa inilah Mbay kami yang indah... mbay kami yang masih asri... mbay kami tercinta... semoga lestari selalu keindahan ini... tidak rusak di’makan’ jaman...
mari kita jaga bersama...
sehingga purnama akan tetap selalu indah disini...
selamanya...


Mbay, 15 Oktober 2011.....