Selasa, 13 September 2011

Tracking Ngaba Tata

Actually, I have heard what is called ”Ngaba Tata”, a place where a waterfall is located in southern part of Aesesa sub district, Nagekeo Regency. Since 2008, I have been living in Mbay, the capital of Nagekeo Regency,  i got so many stories from various sources about this beautiful scenic. But unfortunately, I’ ve never got the stories specifically from tourism office of Nagekeo. Even, most of the stories said that it is hard to reach the place because of its topography. This make Ngaba Tata, tourism destination of Nagekeo  has not been recorded both visual and picturing. 

As for me, those various stories toward the existence of Ngaba Tata can be the asset for tracking on weekend.  Eventually, on Friday (8/9/2011), I invited two of my friends are Didimoez Ozora and Maxi Sile tried to reach Ngaba Tata. We went by Boanio, a village is approximately 22 km away from Mbay.
Afterwards, we leaved on Jawa Tiwa Village by motorcycles. It reaches 12 km From Boanio. The road is bumpy. Even tough, There is also an alternative road from  Raja to Jawa Tiwa, but we think it is closer from Boanio.
 Several minutes later, we entered Jawa Tiwa village. We met a kindly local people. He handled us to the waterfall of Ngaba Tata. We went on our trip by feet trough the house of village head. 500 meters away, We saw this Waterfall by the slope. We stepped forward, got down the slope. The road is extreme, stepping carefully on the stones. Roofs and stem were held to keep from falling and we hanged  over like ‘Tarzan’. Mostly an hour later, we could touch the place.

We got tiring, but it was all gone out by freezing of Ngaba Tata Waterfall The height of the waterfall reaches 40 meters. The bottom of the waterfall is in pool form with 20m2 in size. According to the residents there, the big stones which cover the waterfall happened by the shaking of earthquake in Maumere on 1991. The residents also told that, there was a big stones covered on the waterfall, it is likely a roof. The story Ngaba Tata is named after this big stone. In local language, “Ngaba” means “slope” and “Tata” means “top”. 

The water which flows over Ngaba Tata derives from the spring of “Lambo”. Then, the river collides with The river of Aesesa in Aemali District. The debit of the river can be triply when rainy season. 

If you are fond of tracking, you may spend your time in Ngaba Tata. Ngaba Tata is one of the tourism objects which is most interesting. We will also see some beautiful scenic across the waterfall to Aesesesa. According to the residents, there is no myth from this place. But for the visitors are required to keep and save the place before returning. Let’s keep and save our world and nature from the disorder. Nagekeo,…….4 ur beautifulness. 
 Trekking Of Ngaba Tata.
Teks and Photo by. Yanto Mana Tappi (NPC)

Selasa, 06 September 2011

Menyapa pagi dari puncak Ebulobo

 Siapapun yang melintas di Kecamatan Boawae,Kabupaten Nagekeo, matanya akan tertuju pada  puncak Gunung Ebulobo. Mungkin anda juga salahsatunya yang penasaran untuk bisa menaklukakn ketinggiannya. Saya pun demikian, setiap kali melintas di wilayah Boawae, sekedar istirahat sebentar saya membayangkan bagaimana jika suatu kelak bisa memandang dunia dari puncak itu.

Hingga suatu hari, di tanggal 28 Agustus 2011, saya bersama dua orang sahabat membulatkan tekad untuk menaklukan satu-satunya gunung berapi di Nagekeo itu. Lumayan,  tanggal merah yang tercetak di kelender hari itu, sejenak bisa dijadikan waktu berleha-leha bersama sahabat NPC(NagePhotoClub) . Hitung-hitung sekedar hunting mentari pagi dari puncak Ebulobo.
Sabtu sore ekspedisi kecil kami mulai bergerak dari Mbay menuju Boaawae. Hanya memakan waktu sekitar 1,5 jam, kami sudah berada di sebuah warung Boawae untuk mengisi “Megazine” alias perut. 
 Ebulobo dari depan warung Boawae

“Nasi ikan dua ya bu, jangan lupa STMJ satu dan teh panas dua ”, Andris,sahabatku mengejutkan sang pelayanan yang kelihatan lagi melongo dengan “kontainer” bawaan kami. Maklum, empat buah ransel besar berikut dua buah tripot mengambil alih fungsi meja warung.”Jangan pakai lama ya “, lanjut Didimoezh yang diikuti wajah cemberut sang pelayan. Ya, beginilah sikap backpacker NPC kalau sudah “sakaw”.
Tak lama kemudian, bery-beryku berdering. Ya, itulah sebutan buat ponselku yang tak mau kalah dengan kemewahan blackberry. Wily, sahabatku sms, katanya dia sudah siap menunggu di Desa Mulakoli. Inilah sahabatku yang siap menjadi guide buat kami ke puncak Ebulobo. Setelah cash dan menyambar sebungkus kretek di warung, kami melanjutkan perjalanan ke Desa Mulakoli. Disinlah pendakian akan di mulai. Desa Mulakoli tepat berada dikaki Gunung Ebulobo. Jaraknya dari Boawae hanya sekitar 8km.Namun jalannya yang mendaki dan berlubang-lubang terasa seperti  belasan kilometer.

 Puncak Ebulobo dari Desa Mulakoli

Jam delapan malam kami sudah berada dirumah wily. Walaupun hanya di bawah penerangan lentera kecil, suasana kekeluargaan begitu terasa. Tidak menunggu lama empat cangkir kopi kental muncul. Sruupppp….kopi panas cukup mengusir hembusan dingin dari celah dinding. Setelah sedikit ngobrol dan menyiapkan empat buah senter, kami pun beristirahat. Alarm disetel ke pukul 2.30. Pukul tiga dinihari adalah waktu pendakian nyang kami tentukan. Sepertinya kami bertiga cukup susah memjamkan mata. Bayangan puncak Ebulobo terus mengusik rasa kantuk.
Rasanya baru sebentar saja beristirahat, alarm sudah memanggil di tengah kegelapan ruang tamu. Tidak menunggu lama, empat buah ransel  berpindah ke masing-masing pundak . Saya dan Didimoezh kebagian ransel kamera dan tripot. Sementara Andris dan Wily harus berjibaku dengan ransel logistik. Maklum, delapan botol besar air mineral berikut sejumlah corned cukup terasa berat. Belum lagi tabung gas kecil yang akan dipakai sebagai alat masak menjadikan Andris tenggelam dibalik ransel.
Salah satu keluarga Wily akhirnya memilih untuk ikut bersama kami. Walaupun dia sendiri merupakan penduduk di Desa Mulakoli,namun malam itu adalah pengalaman pertamanya ke Ebulobo. G-shock ku menunjukan angka 02.50. GPS Garmin Colorado 300 di start dari Rumah Wily.
Perlahan namun pasti kami mulai merayapi punggung Ebulobo dari arah timur. Satu jam berlalu, rasa lelah mulai terasa. Jarak kami mulai sedikit berjauhan, seperti membentuk dua kelompok.  Saya dan Andris berada paling belakang. Ada sekitar empat titik pendakian yang terasa melelahkan. Kami harus merayap perlahan memegang pada  rumput dan ranting pohon . GPS baru menunjukan ketinggian 1000m. Perasan lelah bercampur putus asa mulai mengalir. Bagaimana tidak, data yang saya search di Google menunjukan ketinggian Ebulobo 2300m, sedangkan kami baru sampai diketinggian 1000m. Arlojiku sudah menunjukan pukul 04.15. Oh my God….. tinggal satu jam saja untuk bisa menyaksikan aurora pagi. Kurang lebih satu jam berlalu terdengar hembusan daun-daun cemara. Tanaman di ketinggian ini seperti menjadi pembakar semangat.  “Seribu enam ratus bro”, teriak Andris dihadapan cahaya GPS. Sepertinya sahabatku ini sedang membaca pikiranku. Wily juga tak mau kalah, dari depan dia teriak,masih tiga kilo lagi. Gila….! Yang benar aja. Matematikaku mulai jalan, elevasi Ebulobo ini bisa 45 derajat, data Google 2100m, saat ini kami di ketinggian 1600m lebih. Mungkin, kalau dikira-kira masih ada satu kilo meter lagi. Benar saja, seiring langit mulai kemerahan, kami mulai memasuki area bebatuan. Kalau di pandang dari kaki gunung, kawasan bebatuan sudah mendekati puncak.


 Siluet Andris sebelum menjelang mentari terbit

“Mantap bro…”, teriak Andris diarah depan sambil menunjuk kearah saya dan Didimoezh. Ternyata gulungan awan yang indah ada di belakang kami. Sungguh tidak terasa, putus asa bercampur kelelahan membawa kami ke sebuah negeri diatas awan. Tidak menunggu lama, saya dan Didimoezh memasang tripot dan camera. Spot pengambilan gambar sudah tidak diperhatikan lagi,yang penting aurora ini tidak terlewatkan. Matahari masih malu-malu menununjukan ujudnya. Awan yang berarak cepat ibarat gelombang samudera yang saling berkejaran. Sayangnya, rencana “Slow Speed” harus gagal, pasalnya filter gradND tidak dibawa.


Mentari pagi dari puncak Ebulobo

“ Selamat pagi dunia”, ucapku dalam hati seiring naiknya mentari pagi. Setelah mengambil beberapa gambar, kembali kami melanjutkan pendakian ke puncak. Batu-batu lepas dengan kemiringan hampir mencapai 50 derajat  membuat kami harus lebih berhati-hati. Rombongan kami sempat berpapasan dengan rombongan lain yang mengantar seorang turis Yunani. Pukul 09.00 kami sudah sampai di pinggiran kawah. Aroma belerang sempat menyesakan dada. Sangat disarankan untuk memakai masker saat mendekati kawah.  Apabila kita ingin melihat pemandang dari berbagai penjuru mata angin, kita harus mengitari lereng-lereng puncak.

 Menyusuri lereng kawah Ebulobo

. Ada sebuah gua kecil, sayangnya burung wallet penghuni gua ini telah diusik oleh tangan-tangan jahil. Ke arah timur kita dapat memandang puncak bukit Lambo. Sedikit ke selatan kita dapat melihat puncak gunung Ia di Ende. Tengok ke barat, mata kita akan tertuju ke puncak gunung Inerie di Kabupaten Ngada.

 Puncak Inerie dari Ebulobo

Puncak yang paling tertinggi di Gunung Ebulobo-Andris front camera-Background Mauponggo&Maumbawa.

.Perbukitan Kecamatan Mbay-Kecamatan Aesesa

Desa Boloroga-Mauponggo


Puncak Bukit Lambo

Sebuah Salib yang belum ditahu keberadaannya sejak kapan.

Setelah beristirahat sejenak sambil mengabadikan beberapa obyek, kembali kami menuruni lereng di bagian timur. Saatnya mencari tempat di bawah naungan pohon untuk mengisi perut. Logistik mulai dikeluarkan satu persatu. Sosis, corned dan biskuit menjadi hidangan santap siang kami. Ada yang sedikit unik di lakukan oleh Andris. Alat las digunakan sebagai pemanas corned. Alhasil, corned hangus rasa kaleng menjadi makanan dengan cita rasa unik.




Sekitar jam satu kami kembali pulang. Tidak mau dengan resiko jari-jari kaki lecet, satu persatu sepatu mulai di tanggalkan. Sayangnya, binatang-binatang hutan tidak nampak satupun dalam perjalanan pulang. Hanya sesekali terdengar kicau burung dari kejauhan.Mungkin karena jauh dari sumber air, gunung Ebulobo bukanlah  surga buat para satwa. Desa Mulakoli semakin dekat, Puncak Ebulobo pun semakin jauh di belakang meninggalkan jejak kekaguman. Terimakasih Tuhan, indah ciptaanMu untuk Nagekeo.


Photo narsis Didimoezh menuruni Gunung Ebulobo-kreasi bersama picture style update from MaumerePhotographerClub.

Photo and teks by.Yanto Mana Tappi (NagePhotoClub).